Senin, 14 Januari 2013

” kontribusi ternak dan hasil ternak terhadap kehidupan manusia”



PENGANTAR ILMU PETERNAKAN
” kontribusi ternak dan hasil ternak terhadap kehidupan manusia”




Putra Wiadnyana
L1A112118

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
KATA PENGANTAR

Dengan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat-Nya, kelompok kami dapat menyelesaikan tugas makalah kontribusi ternak dan hasil ternak terhadap kehidupan umat manusia dengan senang dan tanpa halangan ataupun kesulitan yang cukup berarti.Kami telah berupaya secara maksimal untuk membuat makalah ini, namun karena kami sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan sekecil apapun dan masih adanya banyak keterbatasan yang ada pada kami, rasanya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran dari teman-teman sekalian.Kami juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada kakak pembimbing kami, karena sedikit banyak telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini dan telah memberikan perhatian untuk kami agar dapat menyusun makalah yang lebih baik dan benar. Atas segala kritik dan saran yang disampaikan tidak lupa kami mengucapkan terimakasih.





Penyusun



DAFTAR ISI

Halaman Depan ……………………………………………………………….    i
Kata Pengantar ………………………………………………………………..    ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………   iii
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang ………………………………………………………..    1
2.      Tujuan …………………………………………………………………    2
3.      Manfaat ………………………………………………………………..   2
BAB II ISI
1.      Kontribusi ternak di  klurahaan kalampang……………………………    3
2.      Hasil ternak………………………………………………..……... …..    8
BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan ……………………………………………………………    15
2.      Saran dan Kritik ……………………………………………………….   16
Daftar Pustaka …………………………………………………………………   17



BAB I
PENDAHULUAN

1.     Latar Belakang
Tuhan menciptakan berbagai ciptaannya bukan tanpa alasan dan manfaat. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang mempunyai akal pikiran, wajib memaksimalkan berbagai manfaat dari apa yang diciptakan Tuhan, sehingga kehidupan manusia dapat menyelesaikan suatu masalah dan meningkatkan keharmonisan bermasyarakat.
Era globalisasi dan persaingan bebas saat ini menuntut masyarakat di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk giat meningkatkan penguasaan ilmu dan teknologi serta manajemen. Dalam keadaaan teknologi yang serba maju dan modern kita dituntut dapat menghasilkan berbagai produk hasil iptek yang sangat memadai agar dapat bersaing dengan produk-produk dari luar negeri yang dari waktu ke waktu mengalir terus ke dalam negeri tanpa dapat dicegah. Untuk mengantisipasi aliran produk dari luar negeri secara tidak terkendali maka perlu upaya peningkatan nilai tambah dan penganekaragaman produk dengan terus melakukan inovasi teknologi dan menggali sumberdaya alam yang potensial untuk dikembangkan. Berbagai sumberdaya alam dan komoditas, baik tanaman maupun hewan/ternak, yang potensial untuk dikembangkan perlu mendapat perhatian untuk lebih meningkatkan nilai tambah. Diantara jenis ternak yang saat ini cukup memiliki potensi untuk dikembangkan dan perlu mendapat perhatian .
Ternak merupakan hewan jinak dan telah adopsi oleh manusia. Sifatnya yang jinak membuat banyak orang tertarik untuk memelihara ternak. Tak heran, bila hewan banyak dipelihara sebagai hewan kesayangan atau hewan hias, kita perlu informasi yang sebanyak-banyaknya tentang manfaat lain dari hewan. Agar manfaat lain itu yang dapat memungkinkan kehidupan manusia menjadi lebih baik, lebih mudah dan efisien, serta dapat menemukan solusi atas suatu masalah yang dihadapi masyarakat. Untuk itu, kita berusaha memperoleh informasi yang tepat dan bermanfaat atas apa saja yang ada pada tubuh hewani atau kandungan apa saja yang ada pada hewan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia secara maksimal dengan bantuan teknologi canggih yang sudah ada.
2.     Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk mengetahui kontribusi ternak dan hasil ternak terhadap kehidupan umat manusia.
3.     Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
·         Agar kita dapat memperoleh informasi-informasi yang bermanfaat dari hewan
·         Ilmu pengetahuan kita seputarhewan akan bertambah setelah kita menemukan informasi-informasi baru yang akurat dari berbagai media.
·         Sebagai media informasi yang nantinya akan bermanfaat besar bagi kehidupan masyarakat luas.




BAB II
PEMBAHASAN
A.Kontribusi ternak
Luas Kelurahan Kalampangan adalah 7.000 ha,memiliki jenis tanah gambut (Histosol), dan merupakan katagori gambut pedalaman dengan Tipe luapan D yaitu 107 tidak dipengaruhi pasang besar maupun pasang kecil dan memiliki tinggi permukaan air tanah di bawah 0,5 m.Berdasarkan Zona Agroekologi, maka tanah gambut di Desa Kalampangan dengan ketebalan tinggi > 10 m,
cocok diusahakan tanaman sayuran (hortikultura) . Tata guna lahan terbagi dalam 3 golongan besar, yaitu lahan pekarangan 200 ha, lahan kebun 1 .000 ha dan jalur hijau 50 ha. Kondisi curah hujan cukup tinggi yaitu rata-rata 2.830 mm/tahun, dengan suhu udara maksimum 34°C dan minimum 24°C. Kelembaban udara maksimum 97% dan minimum 79%. Ditinjau dari sektor peternakan, populasi ternak besar dan kecil di Kelurahan Kalampangan cukup menggembirakan antara lain, sapi potong sebanyak 957 ekor, kambing 206 ekor, babi 18 ekor, dan ayam buras 6.026 ekor. Sedangkan pola usahatani yang digunakan adalah : Tanam I (palawija/sayuran), Tanam II  (palawija/sayuran), kemudian Tanam III (sayuran) .
Jenis sayuran dan palawija serta buah-buahan yang umumnya diusahakan adalah kacang panjang, kangkung, mentimun, terong, bayam, cabai, seledri, sawi, jagung, ubi kayu, juga buah-buahan terutama nenas dan rambutan. SumberDaya Manusia
Jumlah penduduk Kalampangan 2.767 jiwa terbagi dalam jenis kelamin perempuan 1.342 jiwa (48,5%) dan laki-laki 1 .425 jiwa (51,5°/x). Rasio jenis kelaminpenduduk menunjukkan angka diatas 100, hal ini menggambarkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Bila dikaitkan
dengan kelompok umur, maka terlihat perbedaan mencolok pada 41-59 tahun sebesar 158 dan >60 tahun sebesar 168 . Ditinjau dari kepadatan penduduk dengan luas wilayah 7.000 ha (70 km) dan penduduk sebesar 2.767
jiwa diperoleh kepadatan sebesar 39,5 jiwa/km2 (0,395 jiwa/ha) dan apabila ditinjau dari penguasaan lahan setiap jiwa seluas 2,52 ha. Guna melihat kepadatan
agrarisnya luas lahan untuk sektor pertanian seluas 1 .200 ha terdiri 200 ha pekarangan dan 1.000 ha kebun, maka diperoleh angka sebesar 2,3 jiwa/ha atau dengan tingkat penguasaan per jiwa seluas 0,43 ha. Mata pencaharian penduduk terbesar adalah petanipemilik 980 jiwa (65,122%), disusul buruh 210 jiwa 13,95%) dan PNS 98 jiwa (6,51%) . Besarnya mata pencaharian petani pemilik berhubungan dengan latarbelakang pendidikannya yaitu SD atau sederajat yang
mencapai 45,39%, sedangkan yang berpendidikan Perguruan Tinggi atau sederajat hanya 1,86%. Di Kelurahan Kalampangan selain matapencaharian utama usahatani sayuran juga rata-rata memiliki ternak sapi minimal 2 ekor/KK dan ayam buras 3-15 ekor/KK. 108 Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 Dengan demikian tingkat penerapan teknologi terbagi 2 yaitu untuk komoditas peternakan dan sayuran . Budidaya Pertanian Teknik pemeliharaan ternak sapi Jenis sapi yang dipelihara umumnya sapi bali dan merupakan sapi bantuan pemerintah. Temak sapi pada umumnya dipelihara secara semi intensif. Pada pagihari jam 8-11 sapi dikeluarkan untuk merumput dipekarangan, kemudian dimasukkan kandang. Pakanyang diberikan hanya rumput alam atau limbah hortikultura saja jika musim panen. Pemberian obat cacing tidak dilakukan . Oleh karena perkawinannya hanya mengandalkan kawin alam saja dimana jumlah pejantan sangat terbatas dan dengan jarak beranak lebih dari satu tahun, mengakibatkan perkembangan populasinya lambat. Untuk mengawinkan temaknya petani harus membayar Rp 10.000 untuk sekali kawin dan rata-rata diperlukan 2 kali mengawinkan agar dapat bunting. Selain itu untuk menjaga kebersihan kandang, mereka membersihkannya seminggu sekali . Teknik pemeliharaan ayam buras Ayam buras dipelihara secara tradisional atau ekstensif dan merupakan usaha sambilan seperti halnya pemeliharaan ternak sapi. Ayam dilepas pada pagi hari dan dikandangkan pada sore hari. Anak ayam umur 0- 30 hari diberi pakan komersial, dan setelah lebih dari sebulan diberi pakan dedak 1 kg/10 ekor/hari dan sisa nasi. Pakan diberikan pada pagi clan sore hari. Produksi
telur rata-rata 70 butir/ekor/tahun, dimana 50%ditetaskan, 30% dijual dan sisanya  20% dikonsumsi. Tingkat kematian anak ayam umur 1-30 hari 10-60%.Penyakit yang sering menyerang adalah ND, karena tidak dilakukan vaksinasi terhadap penyakit ini . Teknik usahatanijagung manis dan sayuran Walaupun petani memiliki sapi namun ternak tersebut tidak dapat digunakan sebagai tenaga kerja mengolah lahan pertanian mereka, karena tanah gambut tidak mampu menahan berat badan sapi sehingga sering kali kakinya terjerembab ke dalam gambut. Pengolahan lahan yang pertama kali dilakukan adalah mengupasrumput secara manual dengan arit kemudian ditumpuk menjadi gundukan dan setelah kering dibakar. Abu rumput dicampur dengan kotoran ternak diolah sebagai pupuk. Kompos ini mutlak harus diberikan sebagai pupuk di lahan mereka, meskipun mereka juga menambahkan pupuk kimia. Benih sayuran dan buah diperoleh dari 6 buah kios saprodi yang ada meskipun jenis dan mutu sama namun harga bervariasi. Khusus benih jagung manis dan kacang panjang petani menggunakan benih dari penangkaran sendiri yang hasilnya lebih baik daripada benih yang dijual di kios saprodi akhir-akhir ini . Pupuk kompos kering diberikan sebanyak '/4-1 kg per lobang tanarn, sedangkan pembelian pupuk kimia untuk semua jems sayuran adalah sama yaitu urea, SP 36, KCI, NPK masingmasing sebanyak 1 kg dicampur jadi satu kemudian dilarutkan dalam 400 liter air untuk luas lahan 10x50 m2. Pemupukannya dengan cara disiramkan pada kanan kiri perakaran tanarnan. Petani belum melakukan pemberantasan hama terpadu tetapi hanya menggunakan insektisida pada saat tanam yaitu Furadan 3/4 kg/0,25 ha, serta pernbasmi ulat dengan Curacron serta Regent 500 ml/0,25 ha. Panen dan pascapanen dilakukan secara tradisional .Pola tanam petani sayur Kalampangan terbagi dalam 2 lokasi, yaitu lokasi pekarangan seluas 800 m2 atau 1/3 dari luas pekarangan selebihnya untuk penggunaan non pertanian, lokasi ke dua adalah lahan usaha dirnana petani memiliki luasan 1,75 ha yang terbagi dalam  lahan usaha I seluas 0,75 ha dan lahan usaha II seluas 1 ha. Kondisi lahan usaha I umumnya sudah diusahakan, sedangkan lahan usaha II saat ini masih menjadi lahan tidur. Untuk memperjelas pola penanaman pada lahanusaha
dapat dilihat pada gambar1 .Kacang panjang 750m 2Tomat 750 m2 Kangkung cabut 750 m2Jagung manis ditumpang sari kandengansayur manis/sawi 2500 m)Mentimun(2500 m2) Gambar 1. Pola pertanaman di Lahan Usaha I seluas 7.500 m2 Pola tanam terutama jagung manis ditumpangsarikan dengan sawi dengan cara menanam sawi terlebih dahulu serninggu, kemudian jagung manis. Pada saat sawi dipanen umur 25 hari, maka hanya tinggal jagung manis yang dipanen pada umur 75 hari. Pada petak lainnya diusahakan berbagai jenis sayuran dengan rata-rata panen umur 50 hari. Dengan demikian, untuk jagung dapat ditanam sebanyak 3 kali per tahun, sedangkan sayuran jenis lainnya dapat ditanam 6 kali. Komoditas sayuran dipasarkan dalam bentuk segarbaik dijual ke pasar pagi di Palangka Raya, dibeli Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 langsung oleh pembeli asal Palangka Raya di lahan, atau dijajakan di kios sepanjang jalan raya Palangka Raya-Banjarmasin. Pembelian langsung di lahan, umumnya diawali dengan kesepakatan antara pembeli dan petani tentang harga. Khusus untuk tanamanjagung manis memiliki cara sendiri, yaitu pembelian secara bertahap. Tahap pertama jagung dihargai lebih tinggi rata-rata Rp 1 .500/tongkol sebab pada tahap ini pembeli bisa memilih ukuran jagung yang lebih besar. Pada tahap 2 dan 3 harga menurun berturut-turut Rp1 .250 dan Rp 1.000 dengan selang waktu pembelian 2 hari oleh pembeli yang sama. Analisa biaya dan pendapatan Usaha ternak sapi dapat dijual dengan mudah melalui blantik sapi apabila petani sewaktu waktu membeukan uang tunai untuk memenuhi kebutuhannya . Harga beli sapi jantan umur <1 tahun rata-rata Rp 2.500.000/eko r dan setelah dipelihara selarna 8 bulan laku dijual seharga Rp 4.500.000,/ekor. Seekor sapi dapat menghasilkan kompos 2 ton/tahun dengan harga Rp 250/kg. Kompos yang dihasilkan ini digunakan sebagai pupuk tanaman hortikultura yang diusahakan petani dan ini sangat penting karena dari beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa pembelian kompos pada tanaman dapat memberikan hasil yang signifrkan dibandingkan tanarnan yang tidak diberi kompos (TRINY et al., 2001) serta dapat menekan input dari luar  (SUHARTO, 2000). Pakan yang diberikan berupa rumput alam atau limbah tanaman hortikultura ±30 kg/hari/ekor dengan harga beli Rp 200/kg. Tenaga kerja yang digunakan untuk memelihara 2 ekor sapi sekitar 1,5jam/hari, sehingga dalam 8 bulan diperlukan sekitar 60 HOK dengan upah Rp 10.000/HOK. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja keluarga. Tabel 1 menunjukkan bahwa usaha ternak sapi memberikan keuntungan Rp 920.000/2 ekor/8 bulan dengan  R/C ratio 1,11 . Pada usaha ternak ayam marnpu memberikan kontribusi keuntungan sebesar Rp 172 .000/10 ekor/ tahun dengan R/C ratio 1,26 (Tabel 2). Produksi telur dari 8 ekor ayam adalah 560 butir, ditetaskan menghasilkan DOC 140 ekor dengan harga Rp 5.000/ekor, dan 168 butir dijual dengan harga Rp 750/butir. Pakan yang diberikan selama 1 tahun
sebanyak 365 kg dengan harga Rp 800/kg. Tenaga kerja keluarga yang diperlukan untuk memelihara ayam 0,25 jam/hari, dalam 1 tahun diperlukan 15,2 HOK dengan upah sebesar Rp 10.000/HOK. Nilai R/C 1 .26 ini berarti pemeliharaan ayam buras layak untuk diusahakan. 109 Uraian Penerimaan penjualan Penjualan sapi Penjualan kompos Biaya total Sapi bakalan Rumput alam/limbah sayuran
Tenaga kerja Pendapatan R/C Usaha petemakan yang merupakan usaha sampingan diperuntukkan sebagai tabungan yang dapat dijual sewaktu waktu apabila petani memerlukan uang tunai. Ternak sapi digunakan sebagai tabungan untuk mengatasi keperluan uang dalam jumlah besar seperti pulang ke Jawa, membangun rumah, membeli motor, mempunyai hajat, menyekolahkan anak selain itu juga sebagai sumber penghasil pupuk. Sedangkan ternak ayam sebagai simpanan untuk mengatasi keperluan sehari-hari dan sebagai sumber protein. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian AR-RizA dan LANDE (1989) bahwa pengembangan ternak dalam sistim usahatani mempunyai peran penting karena dapat dijadikan sumber uang tunai, sumber tenaga kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani.Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002



A.    Hasil ternak
2.1 Pengujian Daging
Kualitas daging merupakan kumpulan sifat/ ciri/ faktor pada daging yang membedakan tingkat pemuas atau aseptabilitas dari daging tersebut bagi konsumen/ pembeli. Ada beberapa faktor yang menentukan daripada kualitas daging itu sendiri yang dapat diukur dan tidak dapat diukur secara langsung dari daging tersebut. Sehingga dengan demikian diperlukan uji kualitas daging. Pengujian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menguji keamanan dan mutu produk hewan terhadap unsur bahaya (hazards) dan cemaran.
Adapun pengujian kualitas daging dapat berupa :
• Pengujian secara organoleptik
Pengujian terhadap kualitas daging yang dapat dilakuakn dengan menggunakan indera manusia, seperti uji warna, bau, rasa, tekstur.
• Pengujian secara  fisik
Pengujian terhadap kualitas daging yang dapat dilakuakn dengan menggunakaninstrumen fisik, seperti pH meter, tenderometer, refraktometer, thermometer.
• Pengujian secara kimiawi
Pengujian terhadap kualitas daging yang dilakuakn untuk menentukan komposisi kimia dan gizi seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral. Selain itu juga bias digunakan untuk mengetahui adanya zat additive, misalnya penambahan hormone, bahan pengawet, serta pencemaran logam berat pada daging.
• Pengujian secara mikrobiologik
Pengujian terhadap kualitas daging yang dilakukan untuk menentukan jenis dan jumlah mikrobia pada daging, sebab daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food). Uji mikrobiologik ini dilakukan dengan harapan supaya daging yang di jual tidak mengandung bakteri E.Coli dan Patoghen.
Pengujian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menguji keamanan dan mutu produk hewan terhadap unsur bahaya (hazards) dan cemaran.
2.2 Mutu Daging
Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen untuk memilih produk. Pada daging dan produk olahan daging, mutu daging ditentukan oleh mutu komposisi gizi (rasio antara daging non lemak dengan lemak) dan palatabilitasnya yang mencakup penampakan, tekstur (juiciness dan keempukan) dan flavor.
Secara visual, mutu daging dinilai dari warna, marbling dan daya ikat air (water holding capacity, WHC). Daging dinilai bermutu baik jika memiliki warna dan marbling yang seragam pada keseluruhan potongan daging dan dengan penampakan permukaan yang kering karena sifat WHC-nya yang baik. Keberadaan marbling tidak saja mempengaruhi penampakan tetapi juga meningkatkan juiciness, keempukan dan flavor produk olahan daging. Sementara itu, daya ikat air selain mempengaruhi penampakan juga akan mempengaruhi juiciness dari produk olahan daging.
·         Warna
Persepsi terhadap warna daging, mentah atau telah dimasak, mempengaruhi keputusan konsumen dalam memilih daging dan produk olahannya. Daging dengan warna menyimpang dianggap sebagai daging berkualitas rendah.
Mioglobin merupakan pigmen utama daging dan konsentrasinya akan mempengaruhi intensitas warna merah daging. Perbedaan kadar miglobin menyebabkan perbedaan intensitas warna daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar mioglobin adalah spesies, jenis kelamin, umur dan aktifitas fisik hewan. Hal ini menjelaskan kenapa daging sapi lebih merah dari daging babi dan daging babi lebih merah dari daging ayam; atau mengapa daging hewan jantan, hewan tua dan/atau daging paha lebih merah dari hewan betina, hewan muda dan/atau daging dada.
Warna daging juga dipengaruhi oleh kondisi penanganan dan penyimpanan. Jenis kemasan, serta suhu dan lama waktu penyimpanan bisa mempengaruhi warna daging. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi oksidasi mioglobin yang menyebabkan perubahan warna daging.
Ketika daging segar dipotong, maka warna awal yang terlihat adalah warna merah keunguan dari mioglobin. Setelah beberapa saat terpapar dengan oksigen diudara, maka permukaan daging segar tersebut akan berubah warna menjadi merah terang karena terjadinya oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin. Permukaan daging yang mengalami kontak dengan udara untuk waktu lama, akan berwarna coklat, karena oksimioglobin teroksidasi menjadi metmioglobin. Walaupun perubahan warna ini normal sepanjang bau daging masih khas daging segar, tetapi mengindikasikan bahwa daging sudah agak lama terekspos dengan udara sehingga sebaiknya segera dibekukan jika tidak langsung dimasak. Jika daging berwarna coklat dan baunya tidak lagi khas daging segar, maka kondisi ini menunjukkan bahwa daging tersebut sudah disimpan di refrigerasi untuk waktu yang lama. Penyimpangan bau merupakan tanda bahwa daging sudah mulai rusak (busuk) dan hendaknya tidak dikonsumsi.
Jenis kemasan akan mempengaruhi warna daging segar. Daging tenderloin sapi, yang dikemas dalam kemasan vakum akan memiliki warna merah keunguan. Penyebabnya adalah ketiadaan oksigen didalam kemasan vakum. Jika daging dikeluarkan dari kemasan vakum dan kontak dengan udara, warna permukaan daging akan menjadi merah terang sementara bagian dalam tetap berwarna merah-keunguan karena oksigen tidak bisa berpenetrasi ke bagian dalam daging. Disini terlihat bahwa warna merah dan merah-keunguan merupakan warna alami daging segar.
Daging sapi yang digiling dan dikemas dalam wadah yang ditutup dengan film yang permeabilitas oksigennya baik, umumnya berwarna merah terang. Daging giling yang berada dibagian dalam berwarna merah-keunguan. Jika daging dibagian dalam ini dikontakkan dengan udara, maka warnanya akan berubah menjadi merah terang.
Pemasakan daging pada suhu diatas 80oC menyebabkan pigmen terdenaturasi dan warna daging berubah menjadi coklat keabuan yang merupakan warna khas daging segar yang dimasak. Pada pengolahan daging menggunakan garam nitrit (proses kuring), misalnya pada sosis dan kornet, reaksi nitrit dengan mioglobin menghasilkan nitrosomioglobin yang ketika dipanaskan (dimasak) pada suhu di atas 65oC akan menghasilkan warna merah muda yang stabil.
·         Juiciness
Juiciness atau kesan juicy produk daging dipengaruhi oleh jumlah air yang dapat dipertahankan untuk tetap berada di dalam daging setelah dimasak; dan produksi saliva (air ludah) pada saat pengunyahan. Daya ikat air (WHC) daging akan mempengaruhi seberapa besar air yang dapat dipertahankan didalam produk sementara kadar lemak marbling akan membantu merangsang pembentukan saliva.
WHC adalah kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air (bebas)nya pada saat mendapat tekanan dari luar, seperti proses pemanasan, penggilingan atau pengepressan. Daging dengan karakteristik WHC yang baik biasanya akan menghasilkan produk dengan karakter juiciness yang baik. Denaturasi protein daging karena penurunan pH daging beberapa waktu setelah penyembelihan, akan menyebabkan turunnya WHC daging. Akibatnya, daging tidak mampu mempertahankan air daging selama proses pemasakan dan produk yang dihasilkan akan terasa kering (airnya hilang selama pengolahan) dan hambar (komponen flavor larut air terbuang bersama air yang keluar). Proses pelayuan (aging) daging dapat meningkatkan WHC daging sehingga juicinessnya dapat ditingkatkan.
WHC dapat berubah karena pemasakan dan menyebabkan pengaruh pada juiciness produk. Peningkatan suhu pemasakan akan meningkatkan denaturasi protein sehingga WHC menurun dan karakter juicy produk juga berkurang.
Marbling adalah istilah populer untuk lemak intramuskuler. Secara visual, marbling terlihat sebagai butiran lemak putih yang tersebar diantara daging.
Juiciness meningkat ketika kadar marbling meningkat. Marbling yang meleleh pada saat pemasakan dan pelepasannya selama pengunyahan bersama-sama dengan sebagian air bebas daging akan meningkatkan sensasi jus daging. Secara tidak langsung, lemak juga berpengaruh pada juiciness dengan menghambat penguapan air daging selama pemasakan.
Dari penelitian juga disebutkan adanya korelasi antara kadar marbling dengan kelezatan (palatabilitas) daging secara keseluruhan. Jika kandungan lemak marbling kurang dari 3%, palatabilitas menurun dan daging tidak diterima konsumen. Kandungan marbling yang tinggi (lebih dari 7.3%) ternyata juga memberikan persepsi negatif terkait dengan peningkatan konsumsi lemak dan hubungannya dengan penyakit jantung koroner, kegemukan dan kanker.
·         Keempukan
Keempukan daging sangat mempengaruhi persepsi konsumen dalam menilai mutu daging. Kesan empuk melibatkan tiga aspek berikut: kemudahan penetrasi gigi ke dalam daging, kemudahan pengunyahan daging menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan jumlah residu (sisa) yang tertinggal setelah pengunyahan.
Spesies, umur dan jenis kelamin hewan akan menentukan tekstur dagingnya. Daging dengan tekstur yang halus lebih mudah empuk dibandingkan dengan yang teksturnya kasar. Inilah sebabnya mengapa daging sapi butuh waktu lebih lama untuk mengempukannya dibandingkan daging babi, domba atau ayam. Peningkatan ukuran serabut otot dengan meningkatnya umur menyebabkan tekstur daging dari hewan yang lebih tua akan menjadi lebih kasar dan keempukan akan menurun. Dari jenis kelamin secara umum diketahui bahwa daging hewan jantan memiliki tekstur yang lebih kasar dari daging hewan betina. Daging (otot) yang banyak bergerak, misalnya daging dibagian betis, akan memiliki tekstur lebih kasar dan menjadi kurang empuk jika dibandingkan dengan daging (otot) yang terletak pada bagian yang jarang digerakkan, misalnya daging dari bagian punggung. Peningkatan jumlah jaringan ikat didalam daging akan menurunkan keempukan daging sementara keberadaan lemak marbling akan meningkatkan keempukannya.
Proses pelayuan (aging) adalah salah satu cara yang umum dilakukan untuk mengempukan daging. Pelayuan dilakukan dengan menyimpan daging didalam refrigerator yang suhunya terkendali, selama 2 – 4 minggu, yang memberi kesempatan pada enzim yang ada didalam daging untuk memutus protein daging (miofibril) dan jaringan ikat sehingga daging menjadi lebih empuk. Di jasa boga, proses pengempukan daging ini dapat dilakukan dengan menambahkan enzim protease kedalam daging.
Pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan keempukan daging, tergantung pada suhu dan waktu pemasakan. Suhu pemasakan akan mempengaruhi kealotan protein miofibrilar sementara lama waktu pemasakan akan mempengaruhi proses pelunakan kolagen (protein didalam jaringan ikat).
Selama pemasakan, denaturasi dan pengkerutan protein miofibrilar yang terjadi pada suhu 40 – 45oC dan terus meningkat pada suhu 60oC menyebabkan kekerasan daging meningkat. Sebaliknya, protein kolagen yang ada didalam jaringan ikat akan mengalami pemecahan menjadi gelatin dan meningkatkan keempukan daging pada pemasakan diatas suhu 65oC. Oleh karena itu, untuk memperoleh daging yang empuk, perhatikan karakteristik daging yang akan dimasak. Pemasakan daging sebaiknya dilakukan pada suhu internal yang tidak terlalu tinggi, dengan waktu singkat jika daging hanya mengandung sedikit jaringan ikat dan waktu yang lebih lama jika jaringan ikat lebih tinggi.

·         Flavor
Flavor daging dihasilkan dari kombinasi berbagai komponen yang menstimulasi reseptor penciuman dan rasa yang ada di saluran mulut dan hidung. Senyawa pembentuk flavor daging terutama komponen-komponen hasil pemecahan protein (peptida dan asam amino), komponen aroma yang larut air dan gula pereduksi. Perbedaan jenis dan komposisi lemak menyebabkan adanya sedikit perbedaan flavor daging dari hewan yang berbeda pada saat daging dimasak.
Reaksi maillard yang merupakan reaksi antara protein daging terhidrolisa, peptida dan asam amino dengan gula pereduksi berperan penting dalam menghasilkan flavor daging masak. Faktor aw, pH, suhu dan waktu pemanasan akan mempengaruhi jenis dan intensitas komponen flavor daging masak yang dihasilkan. Reaksi ini berlangsung optimum pada kisaran aw 0.5 – 0.8, pH tinggi dengan suhu antara 100°C (flavor daging rebus) dan 180°C (flavor daging goreng).
Perbedaan cara memasak akan menghasilkan flavor yang berbeda. Sebagai contoh, pada daging yang dimasak dengan teknik pemasakan kering, flavor hanya terbentuk di bagian permukaan daging sementara teknik pemasakan basah memungkinkan reaksi pembentukan flavor berlangsung sampai ke bagian dalam daging. Keberadaan komponen lain selama proses pengasapan dan kuring daging juga akan menghasilkan produk daging dengan flavor yang khas.
Lemak marbling juga berpengaruh terhadap flavor. Daging dengan marbling rendah selain terlihat kering juga memiliki flavor yang lebih lemah daripada daging dengan marbling yang lebih banyak. Penelitian menunjukkan bahwa 8 – 9% lemak marbling didalam steak akan menghasilkan flavor yang baik sementara peningkatan lemak diatas 9% akan memberikan citarasa berminyak.
Adapun cara membedakan macam-macam daging ternak sesuai uji fisik dagingnya antara lain:
1.    Daging sapi muda : warna merah pucat, serabut halus, konsistensi lembek, bau dan rasa beda dengan daging sapi dewasa,
2.    Sapi dewasa : warna lebih merah, berserabut halus, konsistensi liat, bau dan rasa khas sapi.
3.    Domba : warna merah muda, banyak lemak diotot, serabut halus, bau khas domba.
4.    Babi : warna pucat merah muda, otot punggung mengandung lemak kelabu putih, serabut halus, konsistensi padat, bau khas babi.
5.    Kuda : merah kehitaman, serabut panjang, tidak ada lemak dalam serabut, bau manis(banyak glikogen), serta lemak kuning emas.
6.    Ayam : warna putih pucat, bagian dada-paha kenyal, bau amis khas daging ayam.
Kualitas daging yang baik ditentukan oleh marbling yang merata diantara serabut daging, keempukan tekstur, serta warna dan cita rasa yang tergantung spesies ternak masing-masing. Sedangkan daging yang buruk kualitasnya berasal dari ternak sakit dan ternak dalam kondisi pengobatan
.



BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
                Usaha temak sapi yang dipelihara pada sistim usahatani sayuran di lahan gambut memberikan sumbangan pendapatan sebesar Rp 920.000/2 ekor/8 bulan/KK (11,3%), ayam buras kontribusinya lebih rendah yaitu hanya Rp 172.000/10 ekor/tahun/KK (2,1%). Sedangkan sumbangan pendapatan terbesar berasal dari usahatani jagung dan sayuran yaitu Rp 7.051 .980/0,7 5 ha/ musimtanam/KK (86,6%.)   Sementara hasil kesimpulan dari hasil ternak
       1.   Pengujian kualitas daging dapat berupa: pengujian secara organoleptik, pengujian secara  fisik, pengujian secara mikrobiologik, pengujian secara kimiawi
2.    Secara visual, mutu daging dinilai dari warna, marbling dan daya ikat air (water holding capacity, WHC). Daging dinilai bermutu baik jika memiliki warna dan marbling yang seragam pada keseluruhan potongan daging dan dengan penampakan permukaan yang kering karena sifat WHC-nya yang baik.
3.    Warna, Juiciness, Keempukan, Flavor.
4.    Adapun cara membedakan macam-macam daging ternak sesuai uji fisik dagingnya antara lain:
·         Daging sapi muda : warna merah pucat, serabut halus, konsistensi lembek, bau dan rasa beda dengan daging sapi dewasa,
·         Sapi dewasa : warna lebih merah, berserabut halus, konsistensi liat, bau dan rasa khas sapi.
·         Domba : warna merah muda, banyak lemak diotot, serabut halus, bau khas domba.
·         Babi : warna pucat merah muda, otot punggung mengandung lemak kelabu putih, serabut halus, konsistensi padat, bau khas babi.
·         Kuda : merah kehitaman, serabut panjang, tidak ada lemak dalam serabut, bau manis(banyak glikogen), serta lemak kuning emas.
·         Ayam : warna putih pucat, bagian dada-paha kenyal, bau amis khas daging ayam.

2.      Saran dan keritik
Kami mohon maaf atas segala kekurangan yang ada dalam penyusunan makalah ini. Atas ketidaksempurnaan dari makalah yang kami buat ini, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, agar kami dapat memperbaiki makalah yang kami buat, sehingga makalah ini menjadi lebih baik dan benar. Terimakasih
















DAFTAR PUSTAKA
Simanjuntak,Diana.2012, MAKALAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK, Alumni
            padjadjaran University

Widjaja ,Ermin dan Firmansyah
Anang.2012, KONTRIBUSI TERNAK DALAM SISTIM USAHATANI DI LAHAN GAMBUT, Palangka raya.


Minggu, 06 Januari 2013

Cara Menyuntik Kelinci (Injeksi Subkutan Pada Pengobatan Scabies)

Scabies merupakan penyakit kulit pada hewan (kelinci, kucing, kambing, babi dan sapi) yang di sebabkan oleh tungau (kutu) yang sangat kecil yang berukuran 0,2 -0,4 mm. Tungau sarcoptes hidup di bawah permukaan kulit dengan membuat saluran-saluran dan lubang untuk meletakkan telur-telurnya. Setelah bertelur beberapa kali, tungau betina mati.telur-telur tersebut akan menetas dalam waktu 3-8 hari dan menjadi larva yang berkaki enam. Selanjutnya larva ini akan terus tumbuh dan menjadi nimfa yang berkaki delapan. Nimfa yang sudah dewasa akan berganti kulit menjadi tungau dewasa. tungau betina akan bertelur sepanjang hidupnya. Tungau dewasa melakukan perkawinan dan proses daur hidup berulang kembali. Satu siklus hidup memerlukan waktu 2-3 minggu.

Scabies dapat di hindari dengan menjaga kebersihan dan sanitasi kandang yang baik. Namun apabila hewan peliharaan sudah terlanjur terkena scabies sebaiknya segera di lakukan pengobatan karena tungau ini dapat berkembang biak dengan sangat cepat. Pengobatan pada hewan peliharaan dilakukan hingga tungau dan telur-telurnya hilang/mati. Pengobatan yang tidak sempurna hanya mematikan induk sarcoptes tetapi tidak telur-telurnya, jadi pengulangan pengobatan pada jangka waktu tertentu sangat di anjurkan.

Pengobatan dapat di lakukan dengan 2 cara yaitu dengan menggunakan salep atau dengan injeksi, bisa juga dengan kedua duanya. Penggunaaan salep dapat langsung di oleskan pada kulit yang terkena scabies, namun sangat dianjurkan salep ini di campur dengan minyak kelapa agar obat benar benar bisa masuk ke pori-pori/ lubang yang di buat tungau sarcoptes. pengobatan dilakukan pagi dan sore hari selama 3 hari berturut-turut. pengulangan pengobatan dapat di lakukan 5-7 hari kemudian. Bulu hewan peliharaan dapat di cukur pada bagian yang terkena scabies untuk memudahkan pengobatan.

Pengobatan dengan cara injeksi merupakan pengobatan yang membutuhkan ketrampilan khusus pemelihara. Kesalahan injeksi pada hewan peliharaan dapat berakibat fatal bagi hewan peliharaan. Kematian pada hewan peliharaan biasanya di sebabkan infeksi pada bekas luka suntikan. Perlu di perhatikan bahwa suntik/injeksi pada hewan bisa di lakukan di bawah kulit atau di dalam daging. Dalam kasus scabies injeksi biasanya pengaplikasiannya dilakukan di bawah kulit (subkutan).

Berikut beberapa hal yang harus di perhatikan sebelum melakukan penyuntikan (injeksi subkutan);

1. Pastikan jarum suntik yang di gunakan tidak berkarat dan tumpul.
2. Gunakan dosis sesuai takaran cara pakainya.
3. Sebaiknya hindari pengobatan jika hewan peliharaan dalam keadaan hamil/bunting.
4. Pengobatan hanya di lakukan pada hewan peliharaan yang cukup umur.
5. Daging hewan dapat di konsumsi setelah 3 minggu pengobatan di hentikan.
6. Hindari penggunaan pada anjing dari Ras Collie.

Jika hal tersebut sudah di laksanakan, maka pengaplikasian injeksi subkutan dapat di lakukan dengan cara;

1. Bersihkan/ potong bulu di sekitar tengkuk hewan peliharaan untuk memudahkan penyuntikan.
2. Bersihkan daerah sekitar yang akan kita suntik dengan alkohol
3. Untuk hewan kecil seperti kelinci dan kucing dapat di "bedong" terlebih dahulu agar tidak meronta/ mencakar.Biasanya di lakukan jika hewan peliharaan tidak jinak, liar atau menggigit.
4. Tarik ke atas bagian kulit tengkuk dengan cara seperti mencubit. lakukan dengan tangan kiri dengan posisi sejajar dengan kepala dan ekor. tarik hingga terangkat sekitar 2 cm dari dagingnya.
5. Masukan jarum suntik hingga ke bawah kulit (sekitar 1 Cm) pada bagian yang kita tarik tadi dan jangan mengenai daging. Lakukan dengan tangan kanan dengan posisi sejajar dengan kepala dan ekor. Posisi jarum tidak tegak lurus (vertikal) tetapi sejajar (horisontal) di bawah kulit.
6. Suntikan obat sesuai dengan dosisnya. Jika posisi jarum tepat di bawah kulit biasanya obat yang di injeksikan mudah keluarnya, tetapi jika posisi jarum masih di kulit atau di dalam daging biasanya obat akan sedikit terhambat keluarnya.
7. Bersihkan bekas suntikan dengan alkohol.

Penyuntikan yang tepat tidak akan menimbulkan luka infeksi pada daging maupun kulit hewan peliharaan. jika terjadi luka /koreng pada beberapa hari setelah penyuntikan segera lakukan perawatan agar tidak menjadi infeksui sehingga resiko kematian bisa di minimalisasi. Sebenarnya penyuntikan/ injeksi ini sangat mudah di aplikasikan dan hanya butuh kebiasaan saja untuk bisa benar benar mahir.

Efek dari pengobatan secara injeksi akan terlihat antar 3-4 hari pasca penyuntikan yang di tandai dengan rontoknya scabies pada bagian yang terserang. Pengobatan sebaiknya di lakukan kembali setelah 10-14 hari kemudian. Pengobatan bisa di lakukan setiap 3 bulan sekali atau jika ada tanda-tanda tungau scabies mulai menyerang.

Jumat, 04 Januari 2013

Penyakit pada Ternak Sapi Perah dan Sapi Potong

winter-bloom
Dalam pemeliharaan ternak, salah satu penghambat yang sering dihadapi adalah penyakit. Bahkan tidak jarang peternak mengalami kerugian dan tidak lagi beternak akibat adanya kematian pada ternaknya.

Secara umum penyakit hewan adalah segala sesuatu yang menyebabkan hewan menjadi tidak sehat. Hewan sehat adalah hewan yang tidak sakit dengan ciri-ciri (a) bebas dari penyakit yang bersifat menular atau tidak menular, (b) tidak mengandung bahan-bahan yang merugikan manusia sebagai konsumen, dan (c) mampu berproduksi secara optimum.
Banyak sekali penyakit yang dapat menyerang sapi perah namun demikian yang terpenting adalah mastitis, anthrax, PMK (penyakit mukut dan kuku), BSE atau mad cow dan lainnya. Disamping itu penyakit yang mungkin sehari-hari dapat dihadapi peternak seperti busuk kuku (foot rot), kembung perut dan lain-lainnya.

1. Mastitis atau Radang Ambing

Mastitis atau radang ambing merupakan penyakit terpenting pada sapi perah, tidak hanya di Indonesia namun juga di dunia. Mastitis merupakan peradangan kelenjar susu yang disertai dengan perubahan fisik, kimiawi dan mikrobiologi. Secara fisis pada air susu sapi penderita mastitis klinis terjadi perubahan warna, bau, rasa dan konsistensi.

Mastitis dipengaruhi oleh interaksi 3 faktor yaitu ternak itu sendiri, mikroorganisme penyebab mastitis dan faktor lingkungan. Menurut para ahli penyebab utama mastitis adalah kuman Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysagalactae, Streptococcus uberis, Stafilokokus aureus dan Koliform. Faktor lingkungan, terutama sanitasi dan higienis lingkungan kandang tempat pemeliharaan, posisi dan keadaan lantai, sistem pembuangan kotoran, sistem pemerahan, iklim, serta peternak itu sendiri dan alat yang ada.

Tanda-tanda klinis penyakit
Mastitis terutama yang klinis dapat dilhat dengan adanya perubahan bentuk anatomi ambing dan fisik air susu yang keluar. Sedangkan mastitis subklinis dapat didiagnosis melalui uji kimiawi atau uji mikrobiologis. Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab tidak langsung atau mendorong meningkatnya mastitis antara lain anatomi (besar dan bentuk ambing, puting), umur ternak, jumlah produksi susu, dan lainnya. Faktor ternak terutama dipengaruhi oleh stadium laktasi, sistem kekebalan, kepekaan individu, anatomi dan umur serta penanganan pasca pemerahan.

Gejala klinis mastitis nampak adanya perubahan pada ambing maupun air susu. Misalnya bentuk yang asimetri, bengkak, ada luka, rasa sakit apabila ambing dipegang, sampai nantinya mengeras tidak lagi menghasilkan air susu jika sudah terjadi pembentukan jaringan ikat. Pada air susu sendiri terjadi perubahan bentuk fisik maupun kimiawi.

Pada mastitis subklinis, perubahan secara klinis pada ambung maupun air susu tidak nampak namun dengan pengujian secara mikrobiologi dan kimiawi akan nampak adanya perubahan. Penurunan produksi yang tidak wajar merupakan gejala yang dapat diperhatikan peternak untuk mendeteksi mastitis subklinis.

Perbedaan Air Susu Sapi Mastitis dan Normal

Air susu pada sapi normal
A. Fisik
  • Warna Putih kekuningan
  • Rasa agak manis
  • Bau harum asam
  • Konsistensi cair, emulsi merata

B. Kimiawi
  • Kasein normal
  • Protein total normal
  • Albumin normal
  • Globulin normal
  • Gula susu normal
  • Laktosa normal
  • Tekanan osmose isotonis
  • PH air susu normal
  • Jumlah SCC (sel/ml air susu) 0 – 200,000
  • PMN (%) 0 - 25

C. Mikroorganisme
  • Jumlah bakteri total dan sel radang yang dianggap aman < 500.000

Air susu pada sapi penderita mastitis
A. Fisik
  • Warna putih pucat agak kebiruan
  • Rasa getir atau agak asin
  • Bau asam
  • Konsistensi pecah, lebih cair, kadang ada jonjot, endapan fibrin dan bila dipanasi pecah.

B. Kimiawi
  • Kasein menurun
  • Protein total menurun
  • Albumin meningkat
  • Globulin meningkat
  • Gula susu menurun
  • Laktosa menurun
  • Tekanan osmose hipotonis
  • PH air susu alkalis
  • Jumlah SCC (sel/ml air susu) di atas 400.000
  • PMN (%) di atas 25

Diagnosa


Diagnosa mastitis dapat dilakukan dengan melihat perubahan patologi anatomi terutama pada ambing dan menguji perubahan fisik dan kimiawi serta mikrobiologis air susu. Uji yang biasa dilakukan misalnya dengan Uji CMT dan lainnya Gejala klinis lainnya seperti demam, penurunan nafsu makan juga sering menyertai penderita mastitis.

Tindakan Penanganan

Usaha untuk mengatasi mastitis sebaiknya ditekankan pada usaha pencegahan. Dengan memperhatikan faktor-faktor predisposisi dan melakukan sanitasi secara teratur dan benar baik  terutama terhadap kandang dan peralatan serta memperhatikan kesehatan pekerja khususnya pemerah. Kebersihan kandang, kebersihan sapi, jumlah sapi dalam kandang, cara pemberian air susu pada pedet, metode pemerahan, pemberian desinfektan pada puting setelah pemerahan merupakan sebagaian masalah yang belum dapat diatasi oleh peternak kita.

Pengobatan dilakukan dengan memperhatikan jenis antibiotika, jumlah yang digunakan, aplikasinya,. Antibiotika ada yang bersifat long acting maupun jangka pendek, begitu juga cara  pemberiannya. Beberapa antibiotika yang biasa digunakan antara lain Penisilin, Streptomisin, Ampisilin, kloksasilin, neomisin, oksitetrasiklin, tetrasiklin.

2. Antraks atau Radang Limpa
Penyakit antraks (Anthrax) atau radang limpa, merupakan salah satu penyakit yang bersifat zoonosis atau dapat menular ke manusia. Kasus muncul terutama pada musim pancaroba.  Antraks menyerang hewan khususnya ruminansia (sapi, kerbau, domba, kambing, babi), burung unta dan hewan menyusui lainnya.

Penyebab penyakit antraks adalah bakteri bacillus anthracis. Sumber infeksi utama adalah ternak terinfeksi, air dan tanah. Bahan-bahan lainnya misalnya bahan pakan juga diketahui menjadi sumber infeksi setelah bahan tersebut tercemari baik oleh spora maupun kumannya. Bentuk spora tahan terhadap pemanasan pada suhu tinggi, pemanasan secara kering dengan suhu 150°C dapat membunuh spora antraks dalam waktu 1 jam, sedangkan pemanasan basah dengan autoclaf pada suhu 120°C akan memusnahkan spora dalam waktu 15 menit. Bentuk vegetatif akan mati dengan pemanasan 55 – 60°C.

Masa inkubasi penyakit antraks biasanya berkisar antara 1 - 3 hari dan kadang dapat lebih dari 2 minggu. Sedang tanda-tanda umum pada tipe akut dan kronis adalah demam, sesak nafas, depresi dan lemah serta kadang disertai kejang. Tanda-tanda ternak terserang antraks biasanya berbeda antar spesies.

Ada beberapa tipe antraks yaitu:
  • Tipe kutaneus (kulit), yang biasanya menyebar melalui kulit yang luka. Penyebaran penyakit biasanya melalui kontak langsung dengan bahan terkontaminasi. Spora dari tanah atau karkas yang terkontaminasi kuman menjadi penyebab kasus tersebut,
  • Tipe inhalasi, antraks tipe ini seringkali disebabkan ternak atau orang yang menghirup debu yang tercemari spora, sehingga masuk melalui saluran pernafasan, penyakit menimbulkan demam yang tinggi, batuk kering, cyanosis, shock dan rasa sakit yang luar biasa dan akhirnya menimbulkan kematian.
  • Tipe gastrointestinal. Tipe gastrointestinal dapat terjadi jika ternak mengkonsumsi bahan yang terkontaminasi kuman basil antraks.

Pengendalian penyakit

Ternak terserang antrak jika ditangani dengan cepat akan tertolong dengan antibiotika seperti penisilin, tetrasiklin, streptomisin dan antibiotika lainnya. Program yang paling baik untuk mencegah antraks adalah vaksinasi secara teratur pada daerah-daerah endemi antraks. Program vaksinasi dilakukan satu kali dalam setahun dengan menggunakan vaksin spora antraks (hidup) galur 34 F2 (sterne strain). Dosis yang dianjurkan, untuk sapi dan kerbau adalah 1 ml/ekor sedangkan untuk kambing dan domba adalah 0.5 ml/ekor.

Penyakit pada Ternak Sapi Potong
Penyakit pada sapi potong relatif tidak sekomplek penyakit pada sapi perah. Namun demikian banyak juga penyakit yang selain menyerang sapi perah juga menyerang sapi potong TBC, Anthrax, PMK (penyakit mukut dan Kuku), BSE atau Mad Cow dan lainnya. Disamping itu penyakit yang mungkin sehari-hari dapat dihadapi peternak seperti diare, cacingan, kembung perut dan lain-lainnya.

1. Diare (mencret)
Penyakit ini sering terjadi terutama pada musim penghujan. Penyebab diare antara lain mikroorganisme yang mencemari kandang, karena kandang kurang bersih, becek, ventilasi kurang baik dan lain-lainnya.

Kadang-kadang pemberian pakan yang tidak teratur dan cacingan juga menjadi penyebab diare.

Cara mengatasinya adalah memperhatikan hal-hal tersebut di atas. Pengobatan dapat dilakukan secara sementara dengan obat tradisional. Jika mencret terus menerus upayakan setidaknya ternak mendapatkan minum (tambahkan gula dan garam) sebagai pengganti cairan tubuh.

2. Pneumonia (Radang Paru)

Penyakit radang paru ini terutama disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan virus. Namun demikian iklim (misalnya cuaca yang terlalu dingin) dan lingkungan (misalnya banyak debu atau partikel makanan khususnya konsentrat yang masuk ke saluran pernafasan dan lain-lainya) seringkali menjadi pendorong utama timbulnya pneumonia. Faktor kandang misalnya ventilasi, kandang terlalu lembab, angin yang masuk terlalu kencang, kelembaban yang terlalu tinggi, kurang sinar matahari, stress atau penanganan ternak yang kurang baik sering menjadi penyebab keradangan.

Gejala yang terlihat antara lain hidung ingusan terus menerus, cekung hidung kering, demam, batuk-batuk, frekuensi pernafasan cepat dan dangkal, kadang nampak kesulitan bernafas, nafsu makan ternak berkurang dan pertambahan bobot badan rendah.

Pencegahan penyakit antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan perkandangan yang baik misalnya perhatikan ventilasinya, sinar matahari upayakan masuk sampai ke kandang (lantai), jaga angin supaya tidak langsung mengenai ternak, memperhatikan cuaca atau iklim, jaga sanitasi kandang dan lingkungan, jaga kontak dengan orang yang sedang sakit radang baik paru maupun pilek biasa dll. Jika memungkinkan pengobatan dengan antibiotika seperti Penstrep, oksitetrasiklin sesuai dengan petunjuk petugas.

3. Keropos Kuku atau Busuk Kuku

Penyakit ini walaupun tidak mematikan namun namun mengganggu produksi. Penyebab penyakit antara lain bakteri atau kuman. Tanda-tandanya antara lain kepincangan, kuku koyak dan berbau busuk.

Tanah yang becek merupakan media perkembangan kuman penyebab penyakit busuk kuku dan menular dari ternak satu ke ternak lainnya. Penanganannya adalah kuku digunting sampai pada bagian jaringan yang sehat. Semprot dan bersihkan dengan antiseptik misalnya dengan antisep, obat merah, iodium, dll kemudian ditutup. Pemotongan kuku secara teratur sangat membantu pencegahan penyakit. Hindarkan tempat yang memungkinkan adanya penyebaran penyakit.

11 jenis penyakit yang harus bebas pada sapi jantan / betina untuk tujuan breeding

Brucelosis

Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Brucellosis pada sapi atau keluron menular adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Brucella abortus. Penyakit ini dapat mengakibat keguguran, angka kematian sangat kecil tau tidak terjadi namun kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar berupa keguguran, anak lahir lemah (weakness), lahir mati (stillbirth), fertilitas dan infertilitas. Kejadian brucellosis di Indonesia telah menyebar hampir di seluruh propinsi kecualiBali dan Lombok. Penularan brucellosis terjadi melalui saluran makanan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka dan IB. Gejala klinis brucellosis pada sapi dipengaruhi oleh umur sapi yang terinfeksi, jumlah kuman dan tingkat virulensinya. Anak sapi yang lahir dari induk yang terinfeksi akan terus menyimpan bibit penyakit sampai mencapai usia dewasa. Gejala yang paling menciri adalah keguguran pada bulan ke 5-8 kebuntingan. Pada sapi jantan brucellosis dapat menyebabkan peradangan testis (orchitis). Diagnosis penyakit dapat dilakukan secara serologis dan dengan isolasi bakteri. Uji serologis dapat dilakukan dengan RBT (Rose Bengal Test), CFT (Complement Fixation Test) atau ELISA. Pengujian pada sekelopmpok sapi perah dapat dilakukan dengan uji MRT (Milk Ring Test). Isolasi bakteri dapat dilakukan dari spesimen yang diambil dari organ janin yang keguguran (paru dan lambung) dan dari plasenta induk, leleran vagina dan susu. Pada sapi jantan dapat diisolasi dari semen.
IBR

Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi ternak sapi.  Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan gejala deman tinggi ± 42°C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung, hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan.
TBC
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan olehMycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma padajaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yangdapat hidup terutama di paru / berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsialtinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar kehampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awalbiasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalamipenyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit kronis yang menyerang semua jenis hewan dan manusia. Tuberkulosis pada sapi secara ekonomis sangat merugikan dan sekaligus merupakan ancaman bagi kesehatan manusia. Penyakit TB disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium tuberculosis.Ada tiga tipe bakteri TB yaitu, tipe human (orang), tipe bovine (sapi), dan avian (unggas), namun demikian ketiga tipe tersebut dapat menginfeksi hewan. Kuman TB dapat tahan hidup berbulan-bulan di padang rumput yang rindang atau di kandang yang teduh. Kuman dapat mati secara cepat jika tekena sinar matahari. Kejadian TB di Indonesia banyak ditemukan pada sapi perah daripada sapi potong. Sampai tahun 1994, kasus TB pada sapi hanya ditemukan di Jawa Barat. Penyakit TB sering dijumpai pada sapi perah yang sudah tua terutama yang dikandangkan dengan higiene lingkungan yang jelek. Prevalensi TB pada sapi di kandang terbuka biasanya lebih rendah. Infeksi terjadi melalui pernafasan atau percikan batuk dari hewan terinfeksi yang mencemari pakan atau minum. Pedet dapat tertular melalui susu dari induk yang terinfeksi. Lesi yang menciri dari TB adalah pembentukan tuberkel atau bungkul berwarna putih kekuningan pada paru atau usus hewan yang terinfeksi. Bungkul tersebut berisi cairan bernanah, hewan dapat mati karena organ tidak berfungsi akibat perkembangan jejas pada organ yang meningkat. Diagnosis TB pada hewan hidup dapat dilakukan dengan reaksi hipersensitivitas dengan uji tuberkulin. Pada hewan terinfeksi akan terjadi pembengkakan pada sisi suntikan dan dapat diukur luasnya dengan kaliper. Hewan yang mati akibat TB dapat dikirimkan jaringan yang mengandung sarang-sarang tuberkel untuk isolasi bakteri dan pemeriksaan histopatologi. Pengobatan tidak dianjurkan pada hewan yang terserang TB karena tidak ekonomis. Pengujian TB dapat dilakukan secara teratur setiap 6-12 bulan dengan uji tuberkulin diikuti dengan pemotongan reaktor.
BVD

Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit viral pada sapi yang disebabkan oleh virus BVD, mudah ditularkan diantara sapi dan telah menyebar ke seluruh dunia. Umumnya infeksi paska kelahiran bersifat non klinis, peningkatan temperatur biphasic (terjadi dua kali peningkatan suhu badan) dan leukopenia yang diikuti peningkatan zat kebal/antibodi yang dapat dideteksi dengan uji serum netralisasi. Infeksi dapat dilihat melalui diagnosis serologik, virologik dan munculnya tanda klinis serta adanya lesi patologik
Anthrax

Antraks atau anthrax adalah penyakit menular akut yang disebabkan bakteria Bacillus anthracis dan sangat mematikan dalam bentuknya yang paling ganas. Antraks paling sering menyerang herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan, namun juga dapat menjangkiti manusia karena terekspos hewan-hewan yang telah dijangkiti, jaringan hewan yang tertular, atau spora antraks dalam kadar tinggi. Penyakit antraks atau radang limpa merupakan penyakit yang disertai bakteriemia pada kebanyakan spesies hewan. Antraks telah tersebar diseluruh dunia terutama di negara tropis namun umumnya terbatas pada beberapa wilayah saja. Antraks disebabkan oleh Bacillus anthracis, dan bakteri ini dapat membentuk spora bila terdedah udara dan tahan hidup hidup di tanah, di lingkungan yang panas dan bahan kimia atau desinfektan. Apabila terjadi perubahan ekologik seperti datangnya musim hujan, spora yang semula bersifat laten akan berkembang dan meningkat populasinya. Sumber utama penularan antraks pada hewan adalah tanah yang tercemar dan air yang masuk tubuh melalui luka, terhirup bersama udara atau tertelan. Gejala yang menciri akibat serangan antraks adalah gejala septisemia yang ditandai adanya kematian mendadak dan perdarahan bersifat sianotik dari lubang-lubang alami. Di daerah endemik, terjadinya kematian mendadak pada sapi harus diwaspadai ada kemungkinan terserang antraks. Diagnosis antraks berdasarkan epidemiologi/ atau adanya riwayat penyakit radang antraks dan gejala klinis. Pengiriman spesimen ke laboratorium berupa darah di dalam tabung, tusukan jarum dari telinga atau ekor atau preparat ulas darah. Pencegahan dan pengendalian antraks dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi pada ternak. Diagnosis banding dari antraks adalah keracunan tumbuhan, black leg, enterotoksemia. Hewan yang terserang atau diduga terserang antraks dilarang keras dipotong. Karakar dan alat yang tercemar harus dibakar dan kemudian dikubur dengan dilapisi gamping.
 Anaplasmosis
Merupakan penyakit menular yang tidak  ditularkan secara kontak (non contagious) yang dapat bersifat perakut sampai kronis. Ditandai dengan demam tinggi, anemia, ichterus tanpa hemoglobinuria, di dalam eritrosit hewan penderita terdapat agen penyakit yang bentuknya seperti ”titik“ yang disebut Anaplasma, biasanya yang patogen adalah anaplasma marginal.  Penyakit ini lebih sering menyerang ternak sapi dan kerbau.  Anaplasma maupun Piroplasma termasuk dalam golongan rikettsia yang ditularkan oleh lalat penghisap darah.
Leptospirosis

Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya. Hewan yang terinfeksi akan menularkan bakteri dalam urinenya yang bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Kuman Leptospira dapat memasuki tubuh lewat luka atau kerusakan kulit lainnya atau melalui selaput lendir (seperti bagian dalam mulut dan hidung).Setelah melewati barrier kulit, bakteri memasuki aliran darah dan dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Infeksi menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam pembuluh darah. Hati, ginjal, jantung, paru-paru, sistem saraf pusat dan dapat juga mempengaruhi mata. Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira spp. Penyakit ini mempunyai arti penting ditinjau dari segi ekonomi peternakan dan kesehatan masyarakat. Bakteri Leptospira peka terhadap asam, tahan hidup di dalam air tawar selama satu bulan tetapi mudah mati dalam air laut, air selokan dan air kencing yang pekat. Kejadian leptospirosis di Indonesia telah dilaporkan sejak jaman Hindia Belanda dan secara epidemiologi telah dilaporkan diberbagai tempat di Jawa dan Bali. Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis dan menyerang hampir setiap hewan menyusui. Beberapa macam serovar telah ditetapkan yaitu serovar harjo, bataviae, javanica, semarangga, djasman, sentot dan paidjan. Infeksi pada sapi yang paling sering terjadi disebabkan oleh serovar harjo, sedangkan serovar pomona merupakan serovar yang paling banyak menyebabkan infeksi akut. Penularan penyakit melalui kulit yang luka atau lewat selaput lendir mata, hidung dan saluran pencernaan. Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan dengan uji MAT (Microscopic Agglutination Test) dari plasma darah, air kencing dan berbagai organ. Isolasi bakteri dapat dilakukan dari spesimen hati dan ginjal hewan yang baru saja mati atau dari organ janin yang abortus (ginjal, paru dan cairan rongga dada). Diagnosis banding penyakit ini adalah anaplasmosis, babesiosis dan infeksi Clostridium hemoliticum (hemoglobinuria basiler). Pengobatan penyakit dengan beberapa jenis antibiotika harus segera dilakukan pada sapi yang terinfeksi untuk menghindari kerusakan jaringan dan perkembangan bakteri dalam tubuh ternak. Vaksinasi dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian antibiotika. Untuk kelompok ternak terbatas vaksinasi diberikan setiap tahun, sedangkan pada ternak yang menyebar dilakukan setiap 6 bulan.
Salmonellosis

Salmonellosis pada sapi disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella dublin, S. typhimurium atau S. newport. Penyakit ini menyebabkan peradangan usus atau enteritis dan invasi organisme ke dalam aliran darah menyebabkan septisemia. Salmonella tidak tahan hidup di alam, terutama dalam suasana kering. Salmonellosis pada sapi di Indonesia ditemukan di mana-mana. Penularan salmonellosis terjadi melalui pakan atau minuman yang tercemar dengan tinja dari ternak yang terinfeksi. Ternak yang terinfeksi dapat tetap mengeluarkan kuman 3-4 bulan setelah sembuh. Selain itu penularan juga dapat terjadi secara intra uterin. Gejala klinis salmonellosis akut berupa demam, lesu, kurang nafsu makan. Pada sapi perah dapat menurunkan produksi susu. Ternak juga mengalami diare berdarah dan berlendir. Kematian dapat terjadi dalam waktu 3-4 hari setelah infeksi. Anak sapi umur 2-6 minggu yang terinfeksi secara akut dapat mengalami septisemia tanpa timbul diare. Selain itu hewan dalam keadaan bunting dapat mengalami keguguran jika terinfeksi.
Bovine Genital Campylobacteriosis

Bovine genitl campylobacteriosis atau vibriosis adalah suatu penyakit kelamin pada sapi yang disebabkan oleh Campylobacter foetus. Infeksi yang terjadi terbatas pada alat reproduksi sapi betina atau kantung prepusium hewan jantan. Bakteri ini mudah mati oleh sinar matahari dan desinfektan. Campylobacteriosis di Indonesia telah ditemukan di beberapa tempat namun penyebarannya belum diketahui secara rinci. Penularan penyakit terjadi melalui perkawinan atau inseminasi buatan (IB) dengan semen pejantan yang terinfeksi. Sapi betina yang terserang campylobacteriosis pertama kalinya dapat mengalami keguguran pada kebuntingan bulan ke-5 atau ke-6. Setelah infeksi berkembang, gejala yang muncul adalah turunnya fertilitas dan angka kelahiran akibat kematian janin.Diagnosis penyakit ini dapat dilakukan dengan pengiriman contoh uji dari leleran vagina, prepusium pejantan dan serum ke laboratorium. Diagnosa banding campylobacteriosis adalah trikomoniasis, brucellosis dan IBR. Pengendalian infeksi pada ternak dapat dilakukan dengan manajemen yang baik dan vaksinasi. Semen yang akan digunakan untuk IB harus bersih dari infeksi dan bebas penyakit campylobacteriosis.
Johne’s Disease

Johne’s disease atau paratuberkulosis dalah penyakit bakterial menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium paratuberculosis. Penyakit ini menyebabkan radang usus dengan gejala diare hebat terus menerus dan berakhir dengan kematian. Kejadian paratuberkulosis tersebar secara luas di dunia. Di Indonesia kejadian penyakit belum ada data yang pasti penyebarannya namun dilaporkan Secara histopatologis pernah didiagnosis pada sapi perah impor di Semarang. Penularan penyakit terjadi karena pencemaran lingkungan oleh bakteri melalui makanan dan minuman. Penularan sering terjadi dari penderita paratuberkulosis sub-klinis. Gejala klinis penyakit ini bervariasi, dimulai dari turunnya kondisi tubuh dan kebengkakan intramadibular. Nafsu makan dan suhu tubuh biasanya tetap normal. Diagnosis berdasarkan atas gejala klinis dan dikukuhkan dengan pengujian laboratoris dari sepesimen usus halus untuk pemeriksaan patologi, isolasi dan identifikasi bakteri. Uji intradermal dengan Johnin test juga dapat dilakukan di lapangan. Pengendalian penyakit dengan pengobatan tidak efektif sehingga dianjurkan agar hewan sakit dipotong untuk menghindari kerugian. Sapi penderita paratuberkulosis yang dipotong masih dapat dikonsumsi dagingnya dan jaringan yang terserang dimusnahkan dengan dibakar
Pink Eye

Pink eye atau radang mata menular adalah penyakit menular akut pada sapi yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia atau klamidia. Penyebab bakteri adalah Moraxella bovis yang bersifat hemolitik. Penyakit ini ditandai dengan adanya kemerahan pada selaput lendir mata yang selanjutnya dapat menyebabkan kekeruhan kornea atau kebutaan. Penurunan berat badan terjadi karena gangguan mencari pakan akibat kebutaan. Infeksi bisa terjadi secara unilateral maupun bilateral. Kejadian penyakit radang mata menular di temukan di Indonesia di mana-mana pada berbagai jenis sapi terutama sapiBali. Penularan penyakit ini dapat melalui debu, lalat dan percikan air yang tercemar oleh bakteri. Pada musim panas, penyakit ini sering ditemukan karena adanya debu dan lalat. Masa tunas dari pink eye berlangsung 2-3 hari ditandai dengan kongesti pada selaput lendir mata dan kornea. Hewan yang terinfeksi mengeluarkan banyak air mata, blefarospasmus, dan fotopobia. Kekeruhan kornea dapat terjadi 2 hari setelah infeksi, ulkus pada kornea timbul hari ke-4 dan kemudian pada hari ke-6 seluruh kornea menjadi keruh yang berakhir dengan kebutaan. Diagnosis penyakit ini berdasarkan gejala perubahan pada kornea. Peneguhan diagnosis dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri secara laboratoris dari spesimen swab air mata. Pengendalian penyakit radang mata menular ini dapat dilakukan dengan pengobatan antibiotika berspektrum luas.
Tambahan:
Clostridial Disease

Clostridial disease pada sapi dapat disebabkan oleh infeksi berbagai spesies dari bakteri Clostridium, yaitu Clostridium botulinum sebagai penyebab penyakit botulisme, CL. Chauvoei penyebab penyakit radang paha dan Cl.  tetani penyebab penyakit tetanus.

a. Botulisme
Botulisme atau Lamziekti adalah penyakit yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium botulinum yang memperbanyak diri dalam jaringan yang membusuk. Bakteri ini membentuk spora dan tahan hidup bertahun-tahun dalam tanah dan bersifat anaerobik. Hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan total otot gerak. Cl. Botulinum terdapat dimana-mana di Indonesia dan terjadinya infeksi tergantung oleh faktor predisposisi seperti tidak sengaja termakan atau terminum.
Penularan penyakit terjadi melalui toksin dalam pakan atau air yang tercemar oleh bakteri. Kejadian botulisme sering terjadi pada sapi yang kekurangan fosfor karena hewan yang kekrangan fosfor cenderung mengunyah tulang yang dijumpai di pengembalaan. Apabila tulang tersebut berasal dari hewan pembawa kuman maka akan terjadi intoksikasi. Gejala klinis yang mencolok dari penyakit botulisme adalah terjadinya kelumpuhan total secara perlahan. Toksin menyerang sistem syaraf dan menyebabkan hewan sempoyongan, kesulitan menelan, ngiler dan mata terbelalak. Kelumpuhan terjadi pada lidah, bibir, tenggorokan, kaki dan disusul kelemahan umum.
Diagnosis penyakit dapat dilakukan dengan uji laboratoris dari spesimen pakan, isi usus atau bangkai dan diteguhkan dengan pengukuran konsentrasi toksin. Pengendalian penyakit ini dengan pengobatan tidak efektif, pencegahan dilakukan dengan pemusnahan karkas dan vaksinasi dengan toksoid tipe C dan D. Hewan yang mati karena botulisme dilarang dipotong untuk dikonsumsi dagingnya. Bangkai dimusnahkan, kandang serta peralatan disucihamakan dengan desinfektan.



b. Radang Paha
Radang paha atau Black Leg adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri Cl. Chauvoei pada sapi yang berakibat kepincangan dan radang yang hebat pada bagian paha. Kejadian penyakit radang paha di Indonesia pertama kali dilaporkan di Subang pada tahun 1907. Daerah endemik radang paha di Yogjakarta, Surakarta dan Madiun.
Penularan penyakit terjadi melalui spora yang termakan oleh hewan dan biasanya menyerang sapi muda umur 8-18 bulan. Gejala klinis yang mencolok adalah pada pangkal kaki belakang yang terserang dengan gejala awal pincang diikuti terbentuknya peradangan di bagian atas kaki yang meluas secara cepat. Jaringan yang terserang jika diraba berkrepitasi yang disebabkan penumpukan gas di bawah kulit. Timbul demam yang tinggi dan pernafasan meningkat, hewan terdengar mendengkur dengan gigi gemertak. Kematian terjadi mendadak antara 1-2 hari setelah timbul gejala serta dapat terjadi pendarahan pada hidung dan dubur.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pengujian FAT. Pemeriksaan sediaan ulas darah secara cepat dapat membedakan dengan penyakit antraks. Pengendalian dan pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi masal di daerah tertular setiap tahun untuk umur 6 bulan sampai 3 tahun. Pengobatan hewan sakit dapat dilakukan dengan suntikan penisilin dosis besar. Hewan yang mati karena radang paha dilarang dipotong untuk dikonsumsi dagingnya. Bangkai dimusnahkan, kandang serta peralatan disucihamakan dengan desinfektan.

c. Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut yang mengakibatkan kekakuan dan kekejangan otot tubuh yang disebabkan infeksi bakteri Cl. Tetani. Bakteri ini terdapat di dalam tanah dan alat pencernaan hewan. Tetanus ditemukan dimana-mana di Indonesia terutama kuda, babi, domba, kambing dan kera, sedangkan pada sapi jarang terjadi. Kejadian penyakit ini biasanya bersifat insidental mengikuti infeksi pada luka yang dalam atau pada lokasi yang banyak menggunakan pupuk kandang.
Penularan terjadi karena adanya luka kecil dan dalam, yang memungkinkan adanya kondisi anaerobik yang memudahkan pertumbuhan bakteri. Gejala klinis yang teramati pertama kali adalah kekakuan otot lokal diikuti oleh kekejangan umum, suhu tubuh sangat tinggi menjelang kematian. Kematian akibat tetanus sangat tinggi yaitu mencapai 80% .
Diagnosis dapat diperkirakan berdasarkan gejala klinis adanya kekejangan yang tetanik. Peneguhan diagnosis dapat dilakukan dengan pengiriman spesimen ulas atau biopsi jaringan luka ke laboratorium. Pengobatan dapat dilakukan dengan penyuntikan antitoksin diikuti pembersihan dan desinfeksi luka. Antibiotika dapat mematikan kuman penyebab bila luka telah dibersihkan namun tidak mampu menghilangkan toksin dari jaringan. Ternak yang terserang tetanus dilarang keras dipotong. Karkas harus dimusnahkan dengan dibakar.

Sumber:
Abu Bakar. 2012. Pedoman Pelaksanaan Pengawalan Dan Koordinasi Perbibitan Tahun 2012. Direktorat Perbibitan Ternak Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian 2012
Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor Barat. 2010. Syarat Kesehatan Hewan Sapi Bibit Ditinjau dari Penyakit Bakteri. Diakses http://www.bbalitvet.org/index.php?option=com_conte nt&task=view&id=298&Itemid=1pada tanggal 23-11-2012 pukul 2.22PM
Sudarisman.2011. Bovine Viral Diarrhea Pada Sapi Di Indonesia Dan Permasalahannya. WARTAZOA Vol. 21 No. 1 Th. 2011

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo